Membangkitkan Kearifan Lokal di Bima

Bima-Kepala Dinas Sosial Provinsi NTB H Ahsanul Khalik dalam rangkaian acara silaturahmi akses kearifan lokal berlanjut. Setelah sebelumnya di Dompu, giliran di Kabupaten Bima dan Kota Bima.
Kegiatan dihadiri oleh Kepala Dinas Sosial Kota/Kabupaten Bima, Kepala Kesbang Poldagri, para Camat, Kapolsek, Babinsa, tokoh pemuda/KNPI, Karang Taruna dan Tokoh masyrakat serta Tokoh Adat.
Dikatakan.Kabupaten dan Kota Bima bagian dari kabupaten/ kota NTB yang memiliki sejumlah kearifan lokal yang tempo dulu menjadi pedoman hidup bersama. Kerukunan, keamanan, persatuan, kerja keras, dan beribadah kepada Tuhan terbangun melalui filosofi bermasyarakat itu.
“Tidak sedikit tulisan berbahasa Bima berisi ajakan yang jadi falsafah hidup terpasang hampir di setiap ruas jalan,” katanya.
Dijelaskan, ajakan yang terpancang di sejumlah ruas jalan itu pada masa sekarang ini seolah-olah tidak bermakna bagi masyarakat Bima. Mereka yang dikenal sopan dan tenang pada masa kerajaan kini cenderung brutal serta bertemperamen keras. Perang antardesa, suku, dan kampung mudah meledak kala dipicu masalah kecil sekalipun. Kearifan lokal berupa ungkapan-ungkapan tua yang menjadi filosofi hidup turun-temurun begitu mengakar, tidak lagi dijadikan pegangan oleh masyarakat terutama para kaum muda nya.
“Hal ini tentu menjadi perhatian kita semua, termasuk pemerintah provinsi melalui Dinas Sosial,”ungkapnya.
Ambil contoh, kata Khalik, ungkapan maja labo dahu. Artinya, malu sama takut (malu kepada sesama, takut kepada Tuhan). Ungkapan lain yang terpajang di di beberapa sudut kota dan Kabupaten Bima, katuda pu rawi ma tedi, katedi pu rawi ma tada.
“Artinya, tunjukkanlah kerja yang giat dan jangan mengambil hak orang,” tambahnya.
Khalik meyampaikan bahwa, dulu Dou Mbojo (Masyarakat Bima) sangat santun dan sangat hormat kepada pimpinan, termasuk kepada camat, (kepala) polsek, dan (komandan) koramil. Dahulu dari masyarakat secara rutin ada yang turut menjaga kantor-kantor milik pemerintah. Namun, saat ini aneh mengapa perilaku masyarakat jadi agak jauh dari apa yang ditinggalkan olah para tetua kita pada zaman dahulu.
“Lalu pertanyaan kita bersama ke mana peradaban masa lalu itu? Menjadi tugas kita lah saat ini untuk menggali kembali lalu menghayati dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari,” tegasnya.
Dengan keprihatinan bersama ini maka selayaknyalah kemudian kita mengangkat kembali nilai-nilai kearifan lokal itu, di mana peran Dewan Adat harus diberi tempat.
“Mereka bisa bekerja sama dengan Lembaga Masyarakat Adat bentukan pemerintah di desa-desa,” tandasnya.
Pada akhir, sambutannya, khalik mengingatkan kepada peserta silaturrahmi agar mengingat kembali makna “Dana Mbojo Dana Mbari”, tanah yang penuh keramat, tanah yang penuh keberkahan dan memberikan prilaku dan tata bicara yang santun dalam kehidupan Dou Mbojo yang saling menghargai dan saling menyayangi.
Kegiatan dihadiri oleh Kepala Dinas Sosial Kota/Kabupaten Bima, Kepala Kesbang Poldagri, para Camat, Kapolsek, Babinsa, tokoh pemuda/KNPI, Karang Taruna dan Tokoh masyrakat serta Tokoh Adat.
Dikatakan.Kabupaten dan Kota Bima bagian dari kabupaten/ kota NTB yang memiliki sejumlah kearifan lokal yang tempo dulu menjadi pedoman hidup bersama. Kerukunan, keamanan, persatuan, kerja keras, dan beribadah kepada Tuhan terbangun melalui filosofi bermasyarakat itu.
“Tidak sedikit tulisan berbahasa Bima berisi ajakan yang jadi falsafah hidup terpasang hampir di setiap ruas jalan,” katanya.
Dijelaskan, ajakan yang terpancang di sejumlah ruas jalan itu pada masa sekarang ini seolah-olah tidak bermakna bagi masyarakat Bima. Mereka yang dikenal sopan dan tenang pada masa kerajaan kini cenderung brutal serta bertemperamen keras. Perang antardesa, suku, dan kampung mudah meledak kala dipicu masalah kecil sekalipun. Kearifan lokal berupa ungkapan-ungkapan tua yang menjadi filosofi hidup turun-temurun begitu mengakar, tidak lagi dijadikan pegangan oleh masyarakat terutama para kaum muda nya.
“Hal ini tentu menjadi perhatian kita semua, termasuk pemerintah provinsi melalui Dinas Sosial,”ungkapnya.
Ambil contoh, kata Khalik, ungkapan maja labo dahu. Artinya, malu sama takut (malu kepada sesama, takut kepada Tuhan). Ungkapan lain yang terpajang di di beberapa sudut kota dan Kabupaten Bima, katuda pu rawi ma tedi, katedi pu rawi ma tada.
“Artinya, tunjukkanlah kerja yang giat dan jangan mengambil hak orang,” tambahnya.
Khalik meyampaikan bahwa, dulu Dou Mbojo (Masyarakat Bima) sangat santun dan sangat hormat kepada pimpinan, termasuk kepada camat, (kepala) polsek, dan (komandan) koramil. Dahulu dari masyarakat secara rutin ada yang turut menjaga kantor-kantor milik pemerintah. Namun, saat ini aneh mengapa perilaku masyarakat jadi agak jauh dari apa yang ditinggalkan olah para tetua kita pada zaman dahulu.
“Lalu pertanyaan kita bersama ke mana peradaban masa lalu itu? Menjadi tugas kita lah saat ini untuk menggali kembali lalu menghayati dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari,” tegasnya.
Dengan keprihatinan bersama ini maka selayaknyalah kemudian kita mengangkat kembali nilai-nilai kearifan lokal itu, di mana peran Dewan Adat harus diberi tempat.
“Mereka bisa bekerja sama dengan Lembaga Masyarakat Adat bentukan pemerintah di desa-desa,” tandasnya.
Pada akhir, sambutannya, khalik mengingatkan kepada peserta silaturrahmi agar mengingat kembali makna “Dana Mbojo Dana Mbari”, tanah yang penuh keramat, tanah yang penuh keberkahan dan memberikan prilaku dan tata bicara yang santun dalam kehidupan Dou Mbojo yang saling menghargai dan saling menyayangi.
No comments